Hukum Berbual Ketika Khutbah Jumaat al-Waliy al-Hafiiz al-Waliy al-Hafiiz

as-Sirah an-Nabawiyah

Thursday, January 18, 2018

Hukum Berbual Ketika Khutbah Jumaat

Hukum Berbual Ketika Khutbah Jumaat

Hukum Berbicara Ketika Khutbah Jumaat


Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Ketika menghadiri solat Jumaat di masjid, tentu terdapat adab yang mesti diperhatikan. Di antara adab tersebut adalah diam ketika imam sedang berkhutbah.

Terdapat beberapa Hadits yang Menunjukkan Larangan 

Dalam hadits riwayat Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا

“Barangsiapa yang berwudhuk, lalu memperbagus wudhuknya kemudian ia mendatangi (solat) Jumaat, kemudian (di saat khutbah) ia betul-betul mendengarkan dan diam, maka dosanya antara Jumaat saat ini dan Jumaat sebelumnya ditambah tiga hari akan diampuni. Dan barangsiapa yang bermain-main dengan tongkat, maka ia benar-benar melakukan hal yang batil (lagi tercela) ” (HR. Muslim no. 857)

Dari Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَكَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَهُوَ كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَاراً وَالَّذِى يَقُولُ لَهُ أَنْصِتْ لَيْسَ لَهُ جُمُعَةٌ

“Barangsiapa yang berbicara pada saat imam khutbah Jumaat, maka ia seperti keledai yang memikul lembaran-lembaran (ertinya: ibadahnya sia-sia, tidak ada manfaat-pent). Siapa yang diperintahkan untuk diam (lalu tidak diam), maka tidak ada Jumaat baginya (ertinya: ibadah Jum’atnya tidak sempurna,-pent).” (HR. Ahmad 1: 230. Hadits ini dho’if kata Syaikh Al Albani)

Dari Salman Al Farisi, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ ، وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ ، فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ، ثُمَّ يُصَلِّى مَا كُتِبَ لَهُ ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ ، إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الأُخْرَى

“Apabila seseorang mandi pada hari Jumaat, dan bersuci semampunya, lalu memakai minyak dan harum-haruman dari rumahnya kemudian ia keluar rumah, lantas ia tidak memisahkan di antara dua orang, kemudian ia mengerjakan solat yang diwajibkan, dan ketika imam berkhutbah, ia pun diam, maka ia akan mendapatkan ampunan antara Jumaat yang satu dan Jumaat lainnya.” (HR. Bukhari no. 883)

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ . وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ

“Jika engkau berkata pada sahabatmu pada hari Jumaat, ‘Diamlah, khatib sedang berkhutbah!’ Sungguh engkau telah berkata sia-sia.”(HR. Bukhari no. 934 dan Muslim no. 851).

Kalam Ulama

An Nadhr bin Syumail berkata, “Laghowta bermakna luput dari pahala.” Ada pula ulama yang berpendapat, maksudnya adalah tidak mendapatkan keutamaan ibadah jumaat. Ulama lain berpendapat bahawa yang dimaksud adalah ibadah jumaatnya menjadi solat zuhur biasa (Lihat Fathul Bari, 2: 414).

Ibnu Battol berkata, “Para ulama yang biasa memberi fatwa menyatakan wajibnya diam kala khutbah Jum’at.” (Syarh Al Bukhari, 4: 138, Asy Syamilah)

Yang dimaksudkan “tidak ada jumaat baginya” adalah tidak ada pahala sempurna seperti yang didapatkan oleh orang yang diam. Kerana para fuqaha bersepakat bahawa solat Jumaat orang yang berbicara itu sah, dan tidak perlu diganti dengan Zuhur empat rakaat. (Lihat penjelasan Ibnu Battol dalam Syarh Al Bukhari, 4: 138, Asy Syamilah)

“berbual atau bercakap-cakap” Ketika Imam Berkhutbah, Haram ataukah Makruh?


Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits di atas menunjukkan larangan berbicara dengan berbagai macam bentuknya ketika imam berkhutbah. Begitu juga dengan perkataan untuk menyuruh orang diam, padahal asalnya ingin melakukan amar ma’ruf (memerintahkan kebaikan), itu pun tetap disebut ‘laghwu’ (perkataan yang sia-sia). Jika seperti itu saja demikian, maka perkataan yang lainnya tentu jelas terlarang. Jika kita ingin beramar ma’ruf kala itu, maka cukuplah sambil diam dengan berisyarat yang membuat orang lain faham (seperti isyarat meletakan jari kemulut). Jika tidak boleh difahami, cukup dengan sedikit perkataan dan tidak boleh lebih dari itu.

Mengenai hukum berbicara di sini apakah haram ataukah makruh, para ulama berbeza pendapat. Imam Syafi’i memiliki dua pendapat dalam hal ini. Al Qadhi berkata bahwa Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i serta kebanyakan berpendapat wajibnya diam saat khutbah.

Dalam hadits disebutkan, “Ketika imam berkhutbah”. Ini menunjukkan bahawa wajibnya diam dan larangan berbicara adalah ketika imam berkhutbah saja. Inilah pendapat madzhab Syafi’i, Imam Malik dan majoriti ulama. Berbeza dengan Abu Hanifah yang menyatakan wajib diam sampai imam keluar.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 138-139)

Memperingatkan Orang Lain Saat Khutbah Cukup dengan Isyarat


Sebagaimana kata Imam Nawawi rahimahullah di atas, “Jika kita ingin beramar ma’ruf kala itu, maka cukuplah sambil diam dengan berisyarat yang membuat orang lain faham makna isyarat tersebut. Jika tidak dapat difahami, cukup dengan sedikit perkataan dan tidak boleh lebih dari itu.”

Pernyataan di atas didukung dengan hadits Anas bin Malik. Ia berkata, “Tatkala Rasulullahh shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di atas mimbar, berdirilah seseorang dan bertanya, “Bilakah hari kiamat terjadi, wahai Nabi Allah?”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diam, tidak mahu menjawab. Para sahabat lalu berisyarat pada orang tadi untuk duduk, namun ia enggan.” (HR. Bukhari no. 6167, Ibnul Mundzir no. 1807, dan Ibnu Khuzaimah no. 1796). Hadits ini menunjukkan bahawa para sahabat melakukan amar ma’ruf ketika imam berkhutbah hanya dengan isyarat.

Menjawab Salam Khatib


Jika imam mengucapkan salam ketika ia naik mimbar, hukum menjawabnya adalah fardhu kifayah (ertinya: jika sebahagian sudah mengucapkan, yang lain gugur kewajipannya).

Dalam kitab Al Inshof (4: 56, Asy Syamilah), salah satu kitab fikih madzhab Hambali disebutkan,

رَدُّ هَذَا السَّلَامِ وَكُلِّ سَلَامٍ مَشْرُوعٍ فَرْضُ كِفَايَةٍ عَلَى الْجَمَاعَةِ الْمُسَلَّمِ عَلَيْهِمْ

“Menjawab salam imam (ketika ia masuk dan menghadap jamaah) dan juga menjawab setiap salam adalah sesuatu yang diperintahkan dan hukumnya fardhu kifayah bagi para jama’ah kaum muslimin.”

Jika menjawab salam kala itu diperintahkan, maka jawapannya pun dengan suara jaher, dengan suara yang didengar oleh imam. Mula ‘Ali Al Qori berkata,

أن رد السلام من غير إسماع لا يقوم مقام الفرض

“Menjawab salam dan tidak terdengar (di telinga orang yang memberi salam), itu belum menggugurkan kewajiban.” (Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobil, 13: 6, Asy Syamilah)

Menjawab Kumandang Azan


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ

“Jika kalian mendengar kumandang azan dari muadzin, maka ucapkanlah seperti yang ia ucapkan.” (HR. Muslim no. 384).

Dalam Syarhul Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin berkata, “Jika imam telah memberi salam kepada jamaah, ia disunnahkan duduk hingga selesai kumandang azan. Ketika itu, hendaklah menjawab seruan muadzin (dengan mengucapkan yang semisal) kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian mendengar seruan muadzin, maka ucapkanlah seperti yang ia ucapkan.” Hadits ini adalah umum. Jika imam berada di mimbar, hendaklah ia menjawab azan, begitu pula makmum. Hendaklah mereka mengucapkan seperti yang diucapkan muadzin kecuali pada lafazh ‘hayya ‘alash sholaah’ dan ‘hayya ‘alal falaah’, hendaklah mereka ucapkan ‘laa hawla wa laa quwwata illa billah’.”

Adapun menjawab azan kala itu, cukup dengan suara lirih sebagaimana asal doa dan dzikir adalah demikian. Allah Ta’ala berfirman,

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْل

“Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara.” (Al A’raf: 205)

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al A’raf: 55)

Menjawab Shalawat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


Dari ‘Ali bin Abi Tholib, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

اَلْبَخِيْلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ

“Orang bakhil itu adalah orang yang ketika disebut namaku ia enggan berselawat” (HR. Tirmidzi no. 3546 dan Ahmad 1: 201).

Dalam Asnal Matholib salah satu fikih Syafi’iyah disebutkan, “Bagi yang mendengar khatib berselawat, hendaklah ia mengeraskan suaranya ketika membalas selawat tersebut.” Ulama Syafi’iyah lainnya menyatakan sunnah untuk diam dan tidak wajib menjawab selawat.

Ulama Hambali menyatakan bolehnya menjawab selawat ketika diucapkan, namun jawabnya dengan suara sirr (lirih) sebagaimana doa.

Intinya, ada dua dalil dalam masalah ini iaitu dalil yang memerintahkan untuk menjawab selawat dan dalil yang memerintahkan untuk diam saat imam berkhutbah. Jika kita berhadapan dua dalil tersebut, yang lebih afdhal adalah menjawab selawat dengan suara sirr (lirih).

Berbicara dengan Khatib


Berbicara dengan khatib saat khutbah diperbolehkan jika ada hajat, baik ketika khatib memulai pembicaraan atau memulai bertanya, atau ketika menjawab pembicaraannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas bin Malik, ia berkata,

أَتَى رَجُلٌ أَعْرَابِىٌّ مِنْ أَهْلِ الْبَدْوِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، هَلَكَتِ الْمَاشِيَةُ هَلَكَ

“Ada seorang Arab badui mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saat itu beliau sedang berkhutbah Jumaat. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, haiwan ternak pada binasa …” (HR. Bukhari no. 1029). Arab badui mengucapkan demikian kerana hujan tidak kunjung berhenti setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta hujan lewat solat istisqo (iaitu solat sunat minta hujan)’ sehingga haiwan-haiwan ternak pun mati. Ia meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya berdoa agar hujan dihentikan.

Begitu pula dalam kisah Sulaik. Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata,

جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِىُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْطُبُ فَجَلَسَ فَقَالَ لَهُ « يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا – ثُمَّ قَالَ – إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا ».

“Sulaik Al Ghothofani datang pada hari Jumaat dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah. Ia masuk dan langsung duduk. Beliau pun berkata pada Sulaik, “Wahai Sulaik, berdirilah dan kerjakan solat dua rakaat (tahiyyatul masjid), ringankan solatmu (iaitu dengan 2 rakaat yang ringkas,bacaan surahnya yang mudah dan tidak panjang) (agar dapat mendengar khutbah, pen).” Lantas beliau bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian menghadiri solat Jumaat dan imam berkhutbah, tetaplah kerjakan solat sunnah dua rakaat dan persingkatlah.” (HR. Bukhari no. 930 dan Muslim no. 875) (Lihat Sahih Fiqh Sunnah, 1: 589).

Wallahu waliyyut taufiq.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna

Teks & Pertenjermah:
Nursyarifah

Rujukan:
https://rumaysho.com/2090-hukum-berbicara-ketika-khutbah-jumat.html

No comments:

Post a Comment

Makluman Kepada Pembaca,jika terdapat kesilapan/kesalahan didalam ayat/laman ini sila maklumkan kepada kami/tinggalkan komen untuk kami betulkan dengan segera.Terima Kasih.